Nov 20, 2007

Darah Simbah Dicuci



Panggil saja ibuku dengan sapaan Bu Jakob. Namun kalau anda pingin memanggilnya Mbak Sun atau Mbak Dari tentu saja ibuku tetap akan menengok dan tersenyum sambil memamerkan giginya yang mulai tanggal.

Bu Yakob kini tak lagi segesit dulu. Penyakit diabetes yang tanpa disangka diidapnya telah menggerus habis tubuhnya. Kulit menghitam, daging menghilang. dan, sejak setengah tahun lalu, fungsi ginjalnya tak lagi berdaya. Awalnya, mesin cuci darah hanya diperlukan setiap jumat. Namun sejak tiga bulan lalu, jadual mencuci darah harus dipenuhi setiap selasa dan jumat, seminggu dua kali!

Ah, simbah. Tak terbayang di masa lalu hidupnya sepenuhnya diabdikan untuk mengajar di SD inpres. Belasan tahun dikayuhnya sepeda onthel hitam menyusuri jalanan kota Bantul untuk menuju 'kantornya'. Sampai akhirnya Koperasi "SINAR", koperasinya pegawai negeri di Bantul meloloskan pengajuan sepeda motor Yamaha Bebek. Simbah pun menjadi berkurang capeknya sejak ditemani si Yamaha bebek.

Simbah tak pernah mengeluh. Demikian juga Pak jakob, suaminya, yang keduanya adalah orang tua saya. Berdua mereka membesarkan kelima anaknya tanpa pembantu! Kalian adalah raja sekaligus pelayan di rumah ini, pesan bapakku suatu ketika.

Yah, ibu yang guru SD inpres dan Bapak yang kepala sekolah SMP Putratama, salah satu sekolah swasta di Bantul. Bapak yang pendiam namun jago mengajar bahasa inggris, fisika, musik, menyanyi, dan... mengarang (ini yang diwariskan kepadaku) dipadu dengan ibu yang tegas, selalu menemani (dan sesekali berusaha sabar) saat kami berlima mengelilingi meja sambil membaca buku. Sesekali juga Bapak memompa lampu petromaks yang setengah jam sekali meredup.

***

Bapak meninggal saat kami semua sudah diwisuda. Syukurlah. Apa lagi yang bisa dibanggakan pasangan guru selain mengikuti upacara wisuda ke lima anaknya? Empat lulusan UGM dan satu lulusan UNS. Satu keinginan Bapak yang belum kesampaian hingga akhirnya hayatnya: membeli mobil untuk keluarga, sebab hingga maut menjemput, tabungan belum cukup untuk membeli mobil bekas termurah sekali pun. Semua uang telah didedikasikan untuk pendidikan kami.

***

Simbah pun akhirnya menjadi kepala keluarga, walau kami telah tercerai berai. Saya dan adik terkecil di Jakarta, kakak di Yogya dan Kediri, serta satu adik lagi di Bandung. Simbah tetap bertahan di rumah lama kami, di Dusun Gedongan bertetangga dengan keluarga pak Jenggot yang ayahnya Udin wartawan Bernas itu. Simbah lebih memilih tinggal di sana, menunggui sisa harta yang dimilikinya, rumah kami dan motor Yamaha bebek kesayangannya yang sudah berusia puluhan tahun.

***

Terbukti, walau sudah di alam sana, Bapak masih menemani ibu. Genap selamatan 1000 hari meninggalnya Bapak, gempa mengguncang dusun kami. Simbah berdarah, tapi selamat.
Harta milik simbah pun tak lagi berupa. Rumah roboh dan Yamaha bebeknya terurug bongkahan-bongkahan tembok. Sama seperti ribuan keluarga lain yang berduka, Simbah pun sangat berduka. Sangat mendalam.
Simbah pun akhirnya tinggal di rumah anak-anaknya. Sekian bulan di Kediri, dan sekian bulan di rumahku. Sampai akhirnya suatu ketika simbah sakit. Dari sanalah akhirnya diketahui kalau simbah pun menderita penyakit yang sama dengan bapa: diabetes! Tampaknya penyakit ini tidak datang tiba-tiba. Mungkin sudah lama diidapnya. namun sama seperti Bapak, ibu pun tak pernah meperlihatkan rasa sakitnya di depan anak-anaknya. tak sekali pun mengeluh atau memasang wajah duka.

***

hari-hari terus berlalu, tak hanya sekali ibu harus masuk rumah sakit. Obat apa pun yang diberi dokter diminumnya, sampai akhirnya ginjalnya tak lagi berdaya. Entah karena komplikasi dari penyakit diabetes atau dari obat yang dikomsumsinya setiap hari. Ibu pun kini tergantung mesin cuci darah.

***

"Aku lagi nunggu uang pensiun bulan desember dan THR natal" kata ibuku saat aku menjenguknya di awal nopember lalu. "Aku pingin pasang klep di tangan biar cuci darahnya gampang. Soalnya kalau selangnya dimasukkan pakai suntik, badan dan tangan tidak boleh gerak-gerak. Pinggangku tidak kuat tiduran empat jam selama cuci darah". Aku cuma terdiam. Ibuku tak pernah dan tak bakal mau meminta uang dari anaknya. "Katanya biayanya satu juta empat ratus," lanjut ibuku. "Nanti uang pensiun dan THR ditambah tabunganku di BPD moga-moga cukup."

Ah, simbah.....
original post by anang, yb