Jun 3, 2006

18 Jam Pertama Sejak Gempa Mengguncang

“Ma, Gunung Merapi njeblug!”, pekik saya lewat ponsel sambil menahan tangis. “Omah Mbantul jugrug!”
Saya tidak mampu berkata-kata lagi. Entah apa yang diucapkan isteri saya di ujung telepon sana. Saya tidak lagi memperhatikannya. Pikiran saya cuma terpaku pada pemandangan miris di depan mata. Separuh rumah saya runtuh. Semua berubah hanya dalam hitungan detik!
Ponsel saya matikan.Cukup banyak bercak darah segar menempel di ponsel. Darah siapa? Astaga, darah Mbah Bantul! Daster bermotif bunga mawar merah tampak semakin merah dengan leleran darah termasuk di tangan dan pundak.
Lanjutan kisah ....
Buru-buru saya cari luka di badan simbah. Tak ada lecet. Ah, syukurlah darah yang berceceran itu berasal dari tangan kiri saya. Puji Tuhan, bukan simbah yang luka.
***
Dusun Gedongan, Trirenggo, Bantul adalah tempat tinggal saya sejak kecil hingga tamat kuliah. Ibu tinggal di sana sendirian sejak kelima anaknya satu persatu meninggalkan rumah untuk mencari kerja dan selanjutnya berumah tangga.
Jumat (26/5) sehari sebelum gempa terjadi kami mengadakan selamatan 1000 hari meninggalnya bapak. Rumah sempit berukuran sekitar 50 meter persegi menjadi ramai karena anak dan cucu berkumpul dalam satu rumah. Kami juga memasang tenda untuk menampung tamu yang kami perkirakan berjumlah 300 orang. Kami juga memasang panggung kecil untuk meletakkan altar guna keperluan misa.
Tak ada firasat apa-apa sebelum terjadi gempa. Memang sejak saya menginjakkan kaki dan memasuki rumah, hidung saya sudah disergap dengan bau anyir seperti daging busuk. Tapi saya tidak begitu memperdulikan apalagi menanyakan ke simbah Bantul –begitulah kami biasa memanggil ibu- . Saya yakin Simbah Bantul sudah mengepel semua sudut rumah dan menjemur semua kasur.
***
Detik-detik menjelang gempa semua berjalan normal. Kami sudah terbangun sejak setengah lima pagi. Di dalam rumah hanya tinggal Adik ipar saya –laki-laki- sedang tidur mengeloni bayinya yang belum genap satu tahun. Kakak dan adik perempuan saya mencuci pakaian di sumur. Pilipus, anak kakak saya asyik bermain air cucian bersama Rohul anak adik saya.
Saya sendiri sedang di depan kompor. Ada tiga sayur dan lauk sisa jamuan semalam yang musti saya panaskan. Sayang kalau dibuang.
Jerit dan teriakan langsung meledak begitu gempa mengguncang. Suara tembok berderak dan genting saling beradu menciptakan suara bak guruh persis di ujung telinga kami. Tanah bergetar hebat. Kami limbung. Satu-satunya yang terpikir adalah lari sekecang-kencangnya. Saya sambar Simbah Bantul yang kebetulan persis berdiri mematung di samping saya. Untuk mencapai halaman depan kami musti melewati lorong selebar satu setengah meter. Saya berlari sambil memeluk Simbah Bantul. Langkah simbah yang kecil tidak mampu mengimbangi lompatan-lompakan kaki saya. Kami pun terjatuh tepat di bawah plafon yang mulai runtuh. Saya tidak perlu menunggu simbah berdiri sempurna. Saya seret simbah. Terus dan terus hingga sampai jalan raya di depan rumah. Di tengah jalan terduduk seorang kakek di samping sepeda tuanya. Tampaknya dia terpental saat aspal menggeliat.
Gempa berlangsung sekitar tiga menit, namun bagi adik saya terasa satu abad. Dia menjerit-jerit memanggil bayi dan suaminya yang tak kunjung keluar.
Separuh rumah bagian belakang runtuh. Debu putih membubung ke udara bersama dengan hujan genteng dan dentuman tembok menghantam tanah.
Ketika tak ada lagi gemuruh, adik ipar saya menggendong Rahel bayinya keluar rumah. Rupanya mereka memilih berlindung di bawah kasur karena tak ada lagi kesempatan untuk keluar rumah.
Jari tengah saya mengucurkan darah segar tanpa henti. Rupanya sesaat sebelum gempa, Simbah Bantul sedang mengelap piring dan gelas. Kedua benda itu masih terbawa saat kami berlarian. Ketika kami terjerembab, piring pecah dan merobek jari saya. Saya pun menarik ponsel dari kantong celana dan mengabari isteri saya di Bekasi. Saya begitu yakin gempa yang mengerikan ini adalah ulah Gunung merapi. Ternyata Bukan. Belakangan, saya baru tahu kalau isteri saya sempat menarik napas lega karena gunung merapi belum meletus. “Untung cuma gempa” kata isteri saya.
Andai saja dia tahu apa yang sebetulnya terjadi, saya yakin dia tidak akan buru-buru menghela napas lega.
***
Semula saya tidak hirau dengan darah yang mengucur dari jari tangan kanan. Tapi karena terus-menerus mengalir akhirnya saya pergi juga ke rumah sakit. Rasanya luka ini musti dijahit, pikir saya.
Di RSU Bantul saya jadi malu sendiri. Saya terlalu cengeng. Deretan orang sekarat yang mengantri membuat saya sadar bahwa luka saya hanya bak digigit semut. Tak ada apa-apanya. Orang sakit mengalir deras ke rumah sakit. Hampir semuanya bermandikan darah dan berlapis debu putih tebal seperti orang hendak pentas pantomin. Saya pun mengalah dan balik pulang.
Jam Tujuh pagi dusun kami kembali geger. “banyu munggah… banyu munggah..!” teriak orang-orang. Semua ribut dan berlarian sambil terus-menerus meneriakkan tsunami. Simbah Bantul, adik dan kakak saya lari tunggang-langgang entah ke mana. Saya memilih bertahan bersama beberapa laki-laki yang tersisa. Nalar saya meyakini bahwa tsunami tidak bakal terjadi. Ternyata keyakinan saya benar. Berangsur-angsur keluarga dan tetangga saya balik ke dusun dan memilih bertahan di lapangan.
***
Untunglah sayur dan lauk yang tadi pagi saya panasi masih utuh. Sepuluh lontong masih bisa diambil walau berdebu. Udang goreng tepung masih ada sepiring. Lemper juga masih tersisa. Beberapa pecahan genteng yang rontok di atas udang saya singkirkan. Jadilah saya dan tetangga satu dusun sarapan di bawah tenda yang semalam kami pakai untuk misa. Tidak apalah udang gorengnya berasa genteng.
***
Trauma, lelah, tak ada makanan, aliran listik putus, ledeng tak lagi mengalirkan air, telepon bungkam seribu bahasa membuat kami menjadi merasa senasib. Kami tak hirau meski radio mengabarkan ada ribuan tenda sedang dikirimkan ke tempat kami, kami juga tak ambil pusing meski para tentara sedang mempersiapkan kedatangan SBY ke lapangan Trirenggo. Benar saja, SBY datang hanya untuk menemui Pak Bupati dan kamera Televisi. Begitu rombongan berlalu, lapangan Trirenggo kembali senyap. “Pak Presiden ora nggowo panganan, opo meneh tendo”, keluh Mas Parman. Tenda yang terpasang hanya untuk tentara.
Jadilah kami menyemut di lapangan Trirenggo beratap mendung tebal, meringkuk dengan perut yang hanya terganjal mi rebus dan air mineral, dan beralas tikar yang tertembus air. Ketika hujan tanpa ampun tercurah dari langit, semua pun lari tunggang langgang bak gempa kedua.

Saya pandangi jari tengah saya. Masih ada darah kental yang luput saat saya bersihkan. Saya baru sadar kalau plester luka yang menutupinya bercorak hati berwarna pink. Happy valentine, bisik saya dalam hati sambil tersenyum kecut.
***
Silakan mengutip kisah saya ini bila dianggap dapat menginspirasi orang lain untuk lebih mengasihi sesama. Lebih disukai bila anda juga menyebutkan “anang, yb” dan”www.JejakGeografer” sebagai sumbernya.