Aug 10, 2006
Tiba-tiba saya teringat Si Din
Enam hari lagi (16/8), genap 10 tahun Si Din meninggal.
Si Din -yang wartawan Bernas Yogya itu- bersemayam satu deret dengan jasad bapak saya. Batu nisan Si Din termasuk yang paling elok di pekuburan Dusun Gedongan, Bantul , terbuat dari marmer putih seluruhnya. Entah sumbangan dari siapa.
Dulu, saya suka mengintip dari jendela saat wartawan televisi asyik bergincu sebelum on air di depan rumah Si Din.
Kameraman SCTV juga sempat numpang pipis di rumah saya. Ya, rumah saya hanya dipisahkan jalan selebar 4 meter dari rumah Pak Jenggot, bapaknya Si Din.
Ah, siapa mengira Si Din bakal jadi omongan orang se-nusantara. Padahal dulunya dia ceking, item, dan tidak ada tampang bakal jadi orang ngetop.
Belakangan ketika sudah mantap menjadi wartawan Si Din berubah menjadi gempal, botak, dan lebih bersih. Mungkin karena sudah bergaji.
Sesekali saat sore hari, Si Din mengajak Marsiyem, istrinya serta anaknya berkeliling desa mengendarai honda tiger. Tampak bahagia.
Sayang, kebahagiaan itu tidaklah lama. Si Din meninggal entah karena apa. Entah karena siapa.
Sepuluh tahun berlalu, dan kepasrahan Pak Jenggot, ayah Si Din masih saya amini: "...lebih baik kasus kematian anak saya tidak terungkap, daripada semakin banyak lagi yang harus dikorbankan untuk menutupi kematian Si Din."
(anang, yb -warga Dusun Gedongan-)