Ini tentang cerita lama, kisah tragedi kenaikan harga BBM 1 Oktober tahun lalu.
Tit.tit… SMS masuk. Dari sang isteri.
“Pemerintah keterlaluan” , begitu kalimat pertama yang terbaca di HP saya. Tumben isteri saya ngomongin pemerintah. Pedas lagi. Belakangan saya baru tahu kalau “umpatan” tersebut sekadar menjiplak headline koran tempat dia bekerja.
Kalimat berikutnya adalah deretan harga BBM baru dengan perubahan yang fantastis (atau edan ?).
Saat itu sudah agak sore. Jalanan sempit, berbatu dan berjurang. Namun saya tetap bisa tiduran di mobil dengan nyaman. Maklum, kendaraan yang saya naiki –kalau dituker dengan rumah kreditan saya – mungkin bakal dapat rumah lima biji. Sayang itu bukan mobil saya. Milik Sucofindo.
Menjelang magrib, mobil kami masuk wilayah Nunukan. Kaltim. Target pertama mengisi tangki mobil sepenuh-penuhnya. Kami juga membawa jerigen untuk wadah minyak tanah. Rencananya kami akan membuat tenda di perbatasan Kaltim-Malysia.
Nyatanya di Nunukan tidak mudah mencari BBM. Depot di pinggir pelabuhan sudah tutup. Depot sebelahnya sama juga. Muter sana-sini akhirnya dapat juga di pinggiran kota.
“Bensin masih Rp. 4.500”, kata sopir. Saya pikir kalimat dia salah. Nyatanya tidak. Di Nunukan, harga lama bensin memang segitu. Jangan tanyakan kok bisa. Salah seorang anggota rombongan terkikik. “Berarti dia belum tau kalau bensin udah naik..!” Kami pun bermaksud memborong semua, termasuk minyak tanah.
Tanpa diduga, si penjual –seorang ibu-ibu berusia 40an tahun- menggeleng santun. “Kasihan para tetangga, pak. Kalau Bapak-bapak menghabiskan semua minyak tanah dan bensin, saudara-saudara saya tidak bisa memasak. Mereka juga tidak bisa melaut. Insyaalloh, bensin yang tadi cukup sampai ke tempat tujuan.”
Kami terdiam. Betapa rakusnya kami orang-orang kota.
Belakangan kami juga juga sadar bahwa ternyata si ibu pun tahu kalau harga bensin sudah naik. “Kami membeli bensin ini tiga hari lalu, Pak. Itu juga dengan harga lama. Jadi kami pun menjualnya dengan harga lama, sampai stok habis. Para nelayan di sini saudara-saudara kami juga. Kasihan kalau mereka harus membayar mahal.” Padahal hari itu sudah tanggal 2 Oktober, saat-saat dimana di belahan lain negeri ini banyak penimbun bensin menangguk untung luar biasa.
Ah, ajari kami bersikap arif, ibu.