Jul 20, 2007

Memoar Sobron Aidit: Blog Untuk Tuhan


"Ada orang mengatakan
bahwa PKI itu anti agama,
tidak beragama, atheis.
Kukira ini benar....
Golkar dan PDI pun
tidak ada agamanya."



Cerita tentang PKI layaknya kisah tentang Snow White. Dari generasi ke generasi dongeng itu diwariskan dengan alur cerita, tokoh, serta pesan yang nyaris sudah baku.
Makanya, kemunculan buku-buku bertema 'sisi lain PKI' bisa menjadi pelepas dahaga. Biarpun cara sebagian orang menanggapi kisah sedih korban stigma orde baru itu bak menonton di bioskop, air mata berderai, perasaan dicabik-cabik, terharu, namun kaki tetap tersilang, tangan merogoh popcorn dan mulut menyeruput Coca-Cola! Mata mak-nyes, namun lidah mak-nyuus..

***

Membaca memoar Sobron Aidit bertajuk Surat Kepada Tuhan ibarat menelusuri posting demi posting sebuah blog. Catatan-catatan penulis tentang apa yang dialami dan dirasakan selama dua periode, Orde Lama dan Orde Baru dirajut dalam tulisan bergaya personal essay.. Ada 46 cerita lepas yang beberapa diantaranya berjudul sama misalnya cerita Seputar Jakarta dan Catatan Seorang Pensiunan yang masing-masing terdiri dari 6 kisah.

Layaknya gaya blog maka jangan terlalu berharap untuk menemukan klimaks atau pesan yang haru-biru di setiap cerita. Banyak cerita yang ringan mengalir seperti melodi gubahan Obbie Messakh. Tapi jangan khawatir. Beberapa kisah juga dituturkan dengan gaya meledak-ledak dan tanpa tedeng aling-aling. Misalnya tentang pak tua, seorang tokoh Menteng 31, si penjilat Soeharto, pemuja kegagahan masa lalu. (Silakan Anda tanyakan pada Google, apa itu Menteng 31).

**

Soal stigma anti-Tuhan yang dilekatkan pada orang-orang PKI, Sobron Aidit punya pembelaan. banyak teman yang ragu-ragu sikap kami terhadap agama, tutur Sobron Aidit mengawali cerita sekitar agama dan doa (hal 220). Kuceritakan bahwa semua saudaraku, abangku, dan saya sendiri sejak kecil ditanamkan menaati agama.
Ada yang menyanggah, "Ah, masa sih, apa betul abangmu itu juga tamat Quran? Kan dia gembongnya PKI. Apa bisa baca Quran?". Kukatakan dia bisa, bahkan tamat baca Quran. karena setiap kami menamatkan Al-Quran, selalu diadakan kenduri.
Yang kuingat benar, tidak ada di antara kami yang tidak beragama, apalagi yang anti agama. Sesudah besar dan dewasa, barulah punya pikiran yang luas-bebas, tetapi tidak ada yang anti agama.

***

Buku ini ditutup dengan kisah kepulangan Sobron Aidit ke kampung halamannya, Belitung. Begitu sampai di Belitung, tidak seorang pun yang menawari menginap di rumahnya, tutur Sobron. Keluarga yang dekat pun pura-pura tidak tahu dan tidak peduli. Rasanya asing,sudah pulang ke kampung halaman tempat kelahiran, tetapi tidak ada yang menyambut, tidak ada yang menawari menginap dan makan di rumahnya.

Ya, ketika isak tangis, keluh kesah, serta teriakan kepada sesama sudah tak bersambut, ke mana lagi harus minta tolong? Dalam keadan tak berdaya seperti itu, siapa pun, akan merasa seperti hidup sendirian. Bahkan sahabat karib yang dipercaya sekalipun satu per satu pergi menjauh. Hidup terasa hampa. Tak berarti lagi.
Satu-satunya harapan ialah menyampaikan segalanya kepada Yang Di Atas. Begitulah yang dialami Sobron Aidit, si penyandang stigma PKI, si komunis, tukang jagal, insan tak bertuhan. Tak berharap bahwa nanti ada yang peduli, keluh kesah itu ia tulis dalam deretan Surat Kepada Tuhan.

Resensi Buku berjudul Memoar Sobron Aidit: Surat Kepada Tuhan, Grasindo Jakarta.

original post by anang, yb