Kadang saya malu bila membandingkan diri saya dengan penjual Pop Ice, penjual kue cubit, apalagi dengan pedagang kelontong. Mereka berani berinventasi, saya tidak!
Penjual Pop ice setidaknya akan merogoh koceknya untuk membeli blender, mebeli sekardus pop ice aneka rasa, sedotan, dan gelas-gelas plastik. Bisa jadi untuk menyiapkan semua itu, pedagang pop ice tidak cukup hanya dengan menguras tuntas tabungan. Sama halnya dengan penjual kue cubit. Hanya kenekadan plus semangat survival yang memaksanya untuk berinvestasi membuat gerobak, membeli tungku, dan tentunya penggorengan berbentuk bulet-bulet kecil.
Pedagang kelontong lebih hebat lagi. Selain harus punya stock, mereka mutlak harus membuat "kantor" dengan segala isinya.
Sedangkan saya ?
Ah, lima tahun berlalu sejak memutuskan kerja freelance, baru kali ini berani berlangganan internet. Itu juga karena tergoda rayuan speedy. Cukup dengan duaratus ribu rupiah per bulan bisa browsing hingga 1 GB, gratis modem lagi.
Sebetulnya, angka dua ratus ribu terbilang lebih irit daripada saya musti kelilingan nyari order. Di Jakarta, uang transport dua ratus ribu rupiah sebulan nyaris termasuk "belum bisa kemana-mana". Dengan internet, uang segitu mengantarkan saya ke mana pun, tak lagi sebatas Jakarta-Bogor-Bekasi.
anang, yb