Sep 14, 2007

Roti berdebu itu telah tersimpan selama 25 tahun (bagian kedua)


gambar:http://www.filebuzz.com

Kenapa bagian kedua kisahku perlu tiga minggu untuk nongol? Haha... Kamu salah. Minggu lalu bagian kedua sudah nongol. Tapi cuma dua jam setengah. Seterusnya aku cabut lagi. Jujur saja, aku terlalu konyol. Dan naif. Syukurlah masih ada sepotong akal sehat bergelayut di batok kepalaku yang keras. Lagipula percuma saja aku mengumbar caci dan cela seperti isi postingku yang kedua itu. Tidak bakal bisa mengembalikan karakter suamiku yang smart dan cool seperti dulu saat kami masih berduet bernyanyi. Suami? ah, kadang geli dan risih saat lidahku dilewati kata itu!

***

Suamiku adalah sandunganku. Suamiku adalah kerak di bak mandiku. Suamiku adalah aspal lengket di sol sepatuku.
Suamiku adalah kaos kaki polka dot di balik lingerie-ku. Seseorang yang tidak paham cara berjalan seiring. Saat kusarankan untuk meninggalkan bisnis sablonnya, dia berang. Ketika kukatakan bahwa sepatu sandal sebaiknya dia simpan saja, dia pun marah besar.
"Aku tidak peduli apa pun saran gila dari Greis manajermu!" teriaknya saat itu. "Terkutuklah segala omong-kosong tentang citra dan apa pun itu. Hidupku adalah aku. Dan aku mau hidup dengan cara hidupku sendiri."
Bila sudah demikian aku cuma bisa masuk kamar dan menghisap rokok mild-ku. Menghela nafas sekerasnya sambil memaki dalam hati: dasar lelaki!

***
Memang siapa yang menginginkan kami (tepatnya aku) bisa masuk dunia selebritis seperti sekarang? Bukankah dulu saat masih tertatih-tatih, pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, kehidupan senyaman ini adalah mimpi dia juga? Tapi kini ketika segalanya begitu gampang ditapaki dan dia hanya perlu sedikit menyesuaikan diri, mengapa justeru pemberontakan yang dia pamerkan? Cemburukah dia dengan pencapaianku? Ah, bila iya, berarti dia lebih stupid dari yang kukira.

***

Hari ini hari ulang-tahun perkawinan kami. Hari yang semestinya kami isi dengan kehangatan justeru dibuka dengan teriakan emosi suamiku. Semata-mata karena aku membatalkan kue ulang-tahun pesanannya yang kuyakini terlalu kecil dan norak. Greis pun menguatkan keyakinanku.

Ah sudahlah. Persetan dengan ulang tahun perkawinan. Kulangkahkan kakiku menelusuri lantai marmer dingin tanpa alas kaki. Satu per satu anak tangga mengantarku ke lantai atas. Piano besar mengkilap membisu di sisi balkon. Kutarik kursi kecil di samping piano dan kuletakkan tubuhku di atasnya. Entah kenapa tiba-tiba aku ingat lagu pertama yang bisa kumainkan dengan pianika saat masih kecil, "...burung pipit yang kecil, dikasihi Tuhan.." Aku biarkan bibirku sedikit mengembang melempar senyum kecil.

Ada nakas kecil di sisi kakiku, tempat aku meletakkan telepon dan guci kecil dari kristal. Hem, ada laci kecil di bawahnya yang membuatku penasaran. Kucoba menariknya pelan. tak terbuka. Pantas. Bahkan aku pun tak pernah tahu kalau nakas ini berlaci. Kutarik agak keras hingga guci di atasnya bergoyang. Buru-buru kupindahkan guci di atas piano.

Rasa penasaranku makin tak terbendung. Kutarik lagi dan lagi. Braak..! Laci itu meluncur di lantai pada tarikan keempat. Debu tipis melambung melampaui separuh kakiku. Ada benda di dalamnya! Debu kelabu membuatku tidak langsung tahu apa benda itu. Tiga usapan tanganku membuat benda itu jadi jelas terlihat.

Mataku serasa mau meloncat keluar. Jantungku berdegup begitu kencang, jauh lebih kencang dibandingkan saat rahimku diangkat 23 tahun lalu. Tidak mungkin! Aku tidak percaya dengan pandangan mataku yang sudah kubuka selebar-lebarnya.

Bagaimana mungkin kubiarkan benda ini tersimpan disini, berselimut debu, tak tersentuh selama 25 tahun?


Kakiku begitu lemas. Keringatku meluncur begitu deras. Dengan pelan-pelan kutelusupkan tangan kiriku di bawah benda itu seakan hendak menggendong bayi yang kutunggu selama 25 tahun. Kuangkat sepelan yang kubisa. Tangan kananku membelai seluruh permukaannya. Satu-satu air mata menetes di atas benda itu. Kuratakan air mataku hingga debu terusir darinya.

Kubaca tulisan indah di bagian tengah benda itu. Lekuk hurufnya terasa masih begitu lekat di ingatanku. Aku eja sekali lagi, "Roti Surgawi"
Ada gambar koki dengan topi tingginya dikelilingi 12 koki di kiri-kanannya. Sang koki tersenyum begitu menawan sambil mengangkat roti dan piala. Seolah dia ingin menyapa," makan dan minumlah..."

Ada tulisan kecil di bawah gambar sang koki. Deretan huruf itu berbunyi: Dibuat oleh perusahaan roti "Lima Roti Dua Ikan". Aku tersenyum kecil. Ibuku pernah bercerita mengapa perusahaan roti ini punya nama yang unik. Lucunya, suamiku pun mendapat dongeng serupa dari ibunya.

Roti ini sengaja kami beli sesaat sebelum kami menikah. Sudah menjadi tradisi kami secara turun-temurun untuk membawa roti istimewa ini di setiap upacara pemberkatan perkawinan. Saat terindah adalah ketika kedua tangan kami yang sudah bercincin bertumpu di atas roti ini untuk mengikat janji, hidup kekal dalam rekatan kasih Tuhan.

Roti di atas telapak tanganku masih begitu lembut, walau sudah kuabaikan selama seperempat abad dalam balutan debu. Begitu lembutnya, seakan dia berbisik saat kutempelkan di pipiku, "..datanglah kepadaku, kamu yang letih dan berbeban berat." Seakan ada kehangatan menjalar dari roti itu melalui pipiku. Bagai ada dua telapak tangan ibu tertangkup di kedua sisi pipiku.

Kutegakkan kepalaku dan kuraih telepon. "Maafkan aku, sayang... Selamat ulang tahun. Tuhan mengasihimu, juga aku..."

(ditulis secara khusus untuk mengingatkan: bulan ini adalah bulan kitab suci nasional )