Bagaimana caranya agar (wanita) terhindar dari jeratan Perda Antipelacuran di Tangerang ?
Ada yang berargumen: wanita sebaiknya (berperan) di rumah saja.
Argumen ini tentu saja saya hargai. Bagi sebagian wanita, mau di rumah saja atau bekerja di luar rumah ADALAH SEBUAH PILIHAN.
Celakanya, bagi sebagian wanita Tangerang, bekerja di luar rumah bukanlah sekadar pilihan, namun karena TAK ADA PILIHAN LAIN!
Marilah kita berargumen dengan lebih membumi, ini adalah persoalan di Tangerang, kita kenali dulu karakteristik sosial-ekonomi masyarakat di sana.
Penduduk Tangerang banyak bergantung dari sektor industri dan perdagangan. Sekali waktu -bila ada waktu- silakan duduk-duduk di tepi jalan raya dan amati orang-orang berbaju biru, seragam khas kaum buruh. Mana lebih banyak; priakah atau wanita ? Sekali-kali juga tongkrongi mal atau pusat perbelanjaan sekitar jam sembilan malam. Pria ataukah wanita yang paling banyak keluar mal dengan wajah lelah karena seharian berdiri menjaga toko ?
Pola kerja di mal maupun di pabrik mengharuskan wanita pekerja di Tangerang untuk bersedia datang dan pulang sesuai ritme yang telah ditentukan oleh pemodal. Celakalah bila anda adalah (wanita) pekerja pabrik dan mendapat jatah kerja shift malam. Karena itu berarti anda harus menunggu bis jemputan pabrik jam sebelas malem di pengkolan jalan! Awas satpol PP mengintai anda !
lantas apa solusi pengganti UU/Perda yang 'begituan' (termasuk RUU APP) ?
"Paksa" para ulama/tokoh agama untuk lebih berperan di lingkungannya! Bukankah di setiap gang-gang sempit pasti ada satu tempat ibadah ? Jadikan rumah Tuhan sebagai basis untuk membentuk akhlak masyarakat. Sekali lagi, paksa tokoh agama setempat untuk lebih berperan, jangan asyik dengan dirinya sendiri. Betapa indahnya bila satu tempat ibadah bisa menjadi cluster untuk membentuk masyarakat yang memiliki religiusitas tinggi; dan akan lebih indah lagi bila cluster ini makin lama makin melebar dan berimpit dengan cluster-cluster di sekitarnya!
Tetap Semangat!
Anang, yb